Tuesday, December 10, 2013
Ashadi Siregar
Ashadi Siregar adalah Direktur Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerbitan Yogyakarta (LP3Y), Dosen, sekaligus seorang novelis. Beliau lahir di Pematang Siantar, 3 Juli 1945 dan mengenyam pendidikan tinggi di Universitas Gadjah Mada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi. Beliau juga aktif mengajar di beberapa universitas di Yogyakarta seperti Institut Seni Yogyakarta dan Universitas Gadjah Mada. Selain itu, Ashadi juga tercatat sebagai seorang novelis, dengan novelnya yang paling terkenal berjudul Jentera Lepas (1979) yang menceritakan tentang nasib sebuah keluarga setelah pemberontakan PKI pada tahun 1965. Beliau telah menerbitkan 12 buah novel, 4 diantaranya telah diangkat ke layar lebar seperti yang berjudul Cintaku di Kampus Biru yang berlatarkan di Kampus Universitas Gadjah Mada. Beliau juga banyak mendapat tanda penghargaan dan penghormatan, diantaranya Medali Satyalancana Karya Satya XX, Presiden Ri tahun 1999, Medali Piagam Penghargaan kesetiaan dari Rektor UGM pada 1999 serta Medali Satyalancana Karya Satya XXX pada 2007 silam.
Sunday, December 8, 2013
Ashadi Siregar
Ashadi Siregar adalah Direktur Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerbitan Yogyakarta (LP3Y), Dosen, sekaligus seorang novelis. Beliau lahir di Pematang Siantar, 3 Juli 1945 dan mengenyam pendidikan tinggi di Universitas Gadjah Mada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi. Beliau juga aktif mengajar di beberapa universitas di Yogyakarta seperti Institut Seni Yogyakarta dan Universitas Gadjah Mada. Selain itu, Ashadi juga tercatat sebagai seorang novelis, dengan novelnya yang paling terkenal berjudul Jentera Lepas (1979) yang menceritakan tentang nasib sebuah keluarga setelah pemberontakan PKI pada tahun 1965. Beliau telah menerbitkan 12 buah novel, 4 diantaranya telah diangkat ke layar lebar seperti yang berjudul Cintaku di Kampus Biru yang berlatarkan di Kampus Universitas Gadjah Mada. Beliau juga banyak mendapat tanda penghargaan dan penghormatan, diantaranya Medali Satyalancana Karya Satya XX, Presiden Ri tahun 1999, Medali Piagam Penghargaan kesetiaan dari Rektor UGM pada 1999 serta Medali Satyalancana Karya Satya XXX pada 2007 silam.
Harold Dwight Lasswell
Harold Dwight Lasswell lahir pada tanggal 13 Februari 1902. dia adalah
seorang ilmuwan politik terkemuka Amerika Serikat dan dan seorang pencetus
teori komunikasi. Dia juga adalah anggota dari Chicago school of sociology dan
adalah seorang profesor Chicago school of sociology di Yale University, Selain
itu dia juga adalah Presiden Asosiasi Ilmu Politik Amerika (APSA) dan Akademi
Seni dan Sains Dunia (WAAS). Menurut sebuah biografi yang ditulis oleh Gabriel
Almond pada saat kematian Lasswell yang diterbitkan oleh Akademi Ilmu
Pengetahuan Nasional pada tahun 1987, Lasswell termasuk dalam peringkat
inovator-inovator kreatif dalam ilmu-ilmu sosial di abad kedua puluh."
Pada saat itu, Almond menegaskan bahwa "beberapa orang akan menegaskan
bahwa ia adalah ilmuwan politik yang paling asli dan paling produktif di
masanya."
Bidang penelitian di mana Lasswell bekerja yaitu pentingnya kepribadian, struktur sosial, dan budaya dalam penjelasan fenomena politik. Di masa depan Ia akan tercatat menggunakan berbagai pendekatan metodologis yang kemudian menjadi standar di berbagai tradisi intelektual termasuk teknik wawancara, analisis isi, para-eksperimental teknik, dan pengukuran statistik.
Dia terkenal karena komentarnya pada teori komunikasi:
Who (says) What (to)
Whom (in) What Channel (with) What Effect
Siapa (kata) Apa (untuk) Siapa (dalam) Apa Channel (dengan) Apa Efek
Siapa (kata) Apa (untuk) Siapa (dalam) Apa Channel (dengan) Apa Efek
Lasswell belajar di
Universitas Chicago pada tahun 1920, dan sangat dipengaruhi oleh pragmatisme
mengajar di sana, terutama karena dikemukakan oleh John Dewey dan George
Herbert Mead. Dia lebih berpengaruh pada Freudian filsafat yang
menginformasikan banyak analisis tentang propaganda dan komunikasi secara umum.
Selama Perang Dunia II, Lasswell menjabat sebagai Kepala Divisi Eksperimental
untuk Studi Komunikasi Waktu Perang di Perpustakaan Kongres. Ia menganalisis
film propaganda Nazi untuk mengidentifikasi mekanisme persuasi digunakan untuk
mengamankan persetujuan dan dukungan dari rakyat Jerman untuk Hitler dan
kekejaman masa perang. Selalu melihat ke depan, di akhir hidupnya, Lasswell
bereksperimen dengan pertanyaan mengenai astropolitics, konsekuensi politik
dari kolonisasi planet lain, dan "Koloni Manusia Mesin."
Peran Lasswell adalah penting dalam perkembangan pasca-Perang Dunia II. Demikian pula, definisinya tentang propaganda juga dilihat sebagai sebuah perkembangan penting untuk memahami tujuan propaganda. Studi Laswell pada propraganda, yaitu membuat terobosan pada subjek untuk memperluas pandangan terkini tentang cara dan tujuan untuk dapat dicapai melalui propaganda untuk tidak hanya mencakup perubahan pendapat tetapi juga berubah dalam tindakan. Bukunya aim to indoctrinate dipandang sebagai ciri khas propaganda. Dia mengilhami definisi yang diberikan oleh Institute untuk Propaganda Analysis.
Peran Lasswell adalah penting dalam perkembangan pasca-Perang Dunia II. Demikian pula, definisinya tentang propaganda juga dilihat sebagai sebuah perkembangan penting untuk memahami tujuan propaganda. Studi Laswell pada propraganda, yaitu membuat terobosan pada subjek untuk memperluas pandangan terkini tentang cara dan tujuan untuk dapat dicapai melalui propaganda untuk tidak hanya mencakup perubahan pendapat tetapi juga berubah dalam tindakan. Bukunya aim to indoctrinate dipandang sebagai ciri khas propaganda. Dia mengilhami definisi yang diberikan oleh Institute untuk Propaganda Analysis.
Pada
tahun 1926, Harold Lasswell menulis disertasinya yang berjudul “ Propaganda Thechnique in the world war” yang menyebut sejumlah propaganda yang
bervariasi mulai dari konsep sbagai strategi komunikasi politik, psikologi
audiens, dan manipulasi simbol yang diambil dari propaganda yang dilakukan oleh
Jerman, Inggris, Perancis, dan Amerika.
Sebenarnya
propaganda sendiri merupakan istilah yang netral. Kata yang berasal dari bahasa
latin “to sow” yang di etimologi berarti : “menyebarluaskan atau mengusulkan
suatu ide” )to disseminate or propagate an idea). Namum dalam perkembanganya,
kata ini berubah dan mengandung konotasi negatif yaitu pesan propafanda
dianggap tidak jujur, manipulatif, dan mencuci otak.
Pada
perkembangan awal ilmu komunikasi, propaganda menjadi topik yang paling penting
dibahas pada masa itu, namun anehnya, stelah tahun 1940-an, analisis propaganda
ini menghilang dari khasanah ilmu-ilmu sosial di Amerika. Sebagai penggantinya
munculah istilah seperti komunikasi massa (mass communication) atau penelitian
komunikasi (communication research), menggantikan istilah propaganda atau opini
publik intuk menjelaskan peneliti komunikasi.
Lasswell
sndiri memberikan definisi atas propaganda sebagai “manajmen dari tingkah laku
kolejtif dengan cara memanipulasi sejumlah simbol signifikan”. Untuknya
definisi ini tidak mengandung nilai baik atau buruk, dan penilaianya sangat
bergantung pada sudut pandang orang yang menggunakanya.
Sementara
itu ahli lain (Petty & Cacioppo,1981) menyebut propaganda sebagai usaha “untuk
mengubah pandangan orang lain sesuai yang diinginkan seseorang atau juga dengan
merusak pandangan yang bertentangan denganya”
Lasswell
juga terlibat dalam proyek perang dunia II, dengan melakukan analisa isi
terhadap pesan-pesan propaganda yang dilakukan oleh pihak sekutu. Dengan
analisa tersebut, Lasswell bermaksud meningkatkan kemampuan dan metodologi
propaganda yang dilakukan pada masa itu. Dengan kata lain, Lasswell tak Cuma
menganalisa propaganda tapu ia juga menciptakan propaganda lain, menghasilkan
para murid yang ahli propaganda tapi ia juga mnciptakan propaganda lain,
menghasilkan para murid yang ahli propaganda untuk membantu pemerintah Amerika
dalam mengembangkan propaganda dan program intelejen dari pemerintah.
Sementara
itu, tokoh lain yang mengembangkan metode propaganda adalah Walter Lippman,
yang juga membuat fondasi awal teori propaganda dari bukunya yang kemudian
mnjadi buku teks book berbagai universitas beberapa dekade kemudian, Public Opinion (1922) san The
Phantom Public (1925). Lippman menulis kedua bukunya berdasarkan
pengalamanya sebagai keoala penulis dan editor untuk leaflet bagi kepentingan
unit propaganda Amerika.
Lippman
dalam bukunya mengambik contoh apa yang dilakukan oleh tentara Perancis dalam
perang melawan inggris pada masa PD I, yaitu Perancis tiap minggu mengumumkan
penghitunganya atas jumlah korban yang jatuh di pihak Jerman, dan tiap minggu
jumlahnya bertambah dalam skala ratusan ribu ; 300.000, 400.000, 500.000 dan
seterusnya. Tentu saja ini merupakan disinformasi yang dilakukan oleh Perancis
dan menurut Lippman,ha ini perupakan bagian dari propaganda
Lippman
mengemukakan tesisnya soal propaganda ini : “bila sekelompok orang dapat
menahan khalayak untuk mendapatkan akses mereka terhadap berita, dan bisa
memumculkan berita tentang peristiwa yang mereka kehendaki, pastilah disitu ada
propaganda”. Lebih lanjut ia mengatakan :” Untuk menghasilkan suatu propaganda,
haruslah ada hambatan antara publik dengan peristiwa yang terjadi.”
Rogers
kemudian mengomentar, semasa perang terjadi, pengelola propaganda dari
pemerintah menjadi pengatur lalulintas berita tentang peristiwa-peristiwa arus
komunikasi menjadi terbatas dan ada sekelompok orang yanng berkeinginan untuk
mendistorsi berita.
Buat
Lippman, komunikasi massa adalah sumber utama dari krisis dunia modern dan
komunikasi adalah instrumen yang diperlukan untuk mengelola apapun secara
elitis, menurutnya lagi, ilmu-ilmu sosial menawarkan alay yang bisa membuat
administrasi struktur sosial macam apapun yang tidak stabil menjadi belih
rasional dan efektif.
Lippman
percayan propaganda adalah satu alat untuk melakukan mobilisasi massa yang
lebih murah daripada terjadinya kekerasan, penyogokan atau cara-cara kontrol
lainya. Dalam artikel lainya pada tahun 1033, Laswell pun menambah
preposisinya, bahwa pengelolaan masalah sosial dan politil yang baik seringkali
tergantung pada koordinasi yang rapi antara penggunaan propaganda dan
penggunaan paksaan, penggunaan jalan kekerasan atau damai, iming – iming
ekonomu, negosiasi diplomatis dan teknik-teknik lainya.
KOMUNIKASI SEBAGAI BUDAYA – James W. Carey
Pada publikasinya tahun 1989, Communication as Culture, James W. Carey
membahas tentang telegraf. Carey melihat telegraf sebagai sarana komunikasi,
menganalisis sejarah latar beakang sejarahnya, serta perubahan sosial dan komersial
yang dipicu. Secara khusus, Carey
berfokus pada cara dimana telegraf mampu memisahkan komunikasi dan transportasi,
rekonfigurasi telegraf tentang ruang dan waktu, dan dampaknya pada ideologi dan aspek
lain dari kehidupan sosial.
Watershed in Connection
Poin penting Carey
pada bukunya ‘Communication as Culture’, dan lebih khususnya pada bab
8 yang berjudul ‘Technology and Ideology:
The Case of Telegraph’,
membahas tentang telegraf dan perannya dipahami dalam perkembangan masa depan dalam komunikasi.
Menggarisbawahi pendapat dalam esainya memandang gagasan bahwa telegraf ‘…diperbolehkan untuk pertama kalinya memisahkan komunikasi yang
efektif dari transportasi’. Hal
tersebut berarti bahwa pesan dapat berpindah lebih cepat daripada manusia, kuda,
atau kereta yang mengirimkan pesan itu sendiri. ‘…telegraf tidak hanya memungkinkan pesan untuk dipisahkan dari pergerakan fisik suatu objek,
tetapi juga memungkinkan komunikasi untuk mengontrol proses fisikal secara akif’.
Ia menguraikan lebih lanjut pada gagasan dengan analogi infastruktur kabel telegraf diikuti dengan fisikal dan pola alami geografi.
Efffendy Gazali
Nama Lengkap : Effendi Ghazali
Alias : Effendi,
Dek Pendi
Profesi : Aktor, Dosen
Agama : Islam
Tempat Lahir : Padang, Sumatera Barat.
Tanggal Lahir : 5 Desember 1966
Effendy Gazali adalah seorang ahli komunikasi politik,
beliau mulai dikenal namanya oleh publik karena beliau adalah penggagas dari Republik Mimpi,
sebuah parodi mengenai Indonesia dan para presidennya. Pemilik zodiak
Sagitarius ini adalah mantan dosen luar biasa pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas
Indonesia, beliau memutuskan mundur dari pekerjaannya pada tahun 2011
karena beliau prihatin dengan kepemimpinan rektor UI pada saat itu yang
banyak melakukan pelanggaran tata kelola kampus.
Prestasi
yang dimiliki Effendy atau yang
lebih akrab dipanggil dek Pendi ini sangat luar biasa. Pria yang memiliki hobi membaca,
mengajar, dan berdikusi ini adalah lulusan S1 bidang Komunikasi UI tahun 1990,
kemudian mendapatkan gelar master di bidang Komunikasi UI pada tahun 1996 dan
master dalam bidang International
Development (konsentrasi: International
Communication) dari Universitas Cornell Ithaca, New York tahun 2000 dan gelar
PhD beliau dapatkan melalui bidang Komunikasi Politik dari Radboud Nijmegen University
Belanda tahun 2004,
dengan disertasi "Communication
of Politics & Politics of Communication in Indonesia: A Study on Media
Performance, Responsibility, and Accountability".
Selain itu, peneliti terbaik UI tahun
2003 di bidang Social & Humanity ini juga mendapatkan penghargaan dari ICA
(International Communication Asociation) pada ICA Annual Conference, di New Orleans Mei 2004 untuk Research, Teaching &
Publication (dari the ICA Instructional &
Developmental Division). Tidak hanya aktif di bidang akademik saja, Pak
Effendy ini juga aktif di organisasi-organisasi antara lain anggota ICA
dan Dewan Nasional Provokasi Indonesia.
Salah satu episode Republik Mimpi dengan judul "Carbon dan Korupsi Episode 1"
Subscribe to:
Posts (Atom)