Sunday, November 24, 2013

Komunikasi Antarbudaya: Memahami Karakteristik Budaya Jepang Dalam Dunia Bisnis Global

Quidquid Reciptur Secundum Modum Recipientis
(Segala Sesuatu Diterima menurut karakteristik si Penerima)

            Kalah pada masa perang, menang pada masa damai, demikian ungkapan yang sering dilekatkan kepada bangsa Jepang. Pada masa Perang Dunia II, ekspansi militer Jepang berhasil dilumpuhkan tentara Sekutu, bahkan akibatnya negeri Jepang luluh lantak dan menyerah tanpa syarat. Tapi kini siapa yang sanggup menahan laju ekspansi Jepang dalam hal ekonomi? Bahkan Amerika pun hanya bisa mengurut dada, berdecak kagum sambil terus mengutuk gaya komunikasi dan manajemen bisnis Jepang yang tampak aneh, menyulitkan dan tidak rasional dalam pandangan mereka
            Cara pengusaha Jepang mengelola bisnis memang tampak aneh. Di tengah arus globalisasi dewasa ini, orang Jepang tetap konsisten memegang nilai-nilai dan gaya bisnis khas Jepang, yang berakar kuat pada kepribadian dan adat istiadat mereka.
            Dari sebuah survei diketahui bahwa kebanyakan kegagalan hubungan bisnis antara pebisnis asing dengan orang Jepang, disebabkan tidak dipahaminya karakteristik kepribadian orang Jepang dan miskinnya pengetahuan pebisnis asing tentang budaya “komunikasi bisnis” masyarakat Jepang.

BUDAYA KOMUNIKASI JEPANG DALAM BISNIS
            Pada dasarnya bangsa Jepang memiliki kepribadian yang mantap dan teguh. Hal ini dapat terbentuk berkat politik isolasi selama 250 tahun dibawah Keshogunan Tagawa. Selama pengasingan diri, bangsa Jepang relatif tertutup dari berbagai pengaruh luar, sehingga kontak antarbudaya yang terjadi terbatas di antara suku-suku yang berdiam di Kepulauan Jepang. Tingginya intensitas interaksi selama ratusan tahun pada akhirnya membentuk kepribadian Jepang yang homogen. Jadi jelas, kebijakan pengasingan diri relatif menguntungkan.
            Sifat homogen kepribadian Jepang, menjadikan negeri ini unik dan menarik. Keunikan tersebut tercermin pada kekhasan manajemen gaya Jepang dan kemampuan bangsa Jepang memelihara “jiwa Jepang” (wakon) ditengah derasnya globalisasi budaya Barat. Banyak kegagalan bisnis yang menimpa orang Amerika, disebabkan sikap mereka yang Amerika-sentris. Pebisnis Amerika beserta negara barat lainnya seringkali memaksakan cara-cara barat dalam berbisnis dengan orang Jepang. Mereka menganggap remeh logika dan nilai-nilai Jepang. Lalu bagaimana memahami Jepang? ada 7 landasan yang mesti diperhatikan.

1. Kompleksitas Bahasa
            Bahasa Jepang dikenal demikian rumit, sehingga seringkali dinamakan “bahasa jin”. Orang Jepang tidak terbiasa berbicara dengan bahasa yang terang dan langsung. Kata-kata yang digunakan seringkali bermakna ganda. Mereka lebih suka menggunakan bahasa nonverbal khas Jepang. Hal ini tentu saja menyulitkan pebisnis asing.
2. Homogenitas Ras dan Budaya
            Dalam konteks ras dan budaya, Jepang tergolong paling homogen di dunia. Itulah sebabnya orang Jepang dapat melakukan westernisasi tanpa mengubah kepribadian “Jiwa Jepang” yang khas.
3. Menjunjung Harmoni
            Orang Jepang mengangungkan konsensus sebagai cara terbaik menyelesaikan berbagai masalah. Mereka cenderung menghindari konfrontasi terbuka. Karena itu berbagai konflik dapat diselesaikan dengan musyawarah mufakat.
4. Sikap Eksklusif
            Orang Jepang memiliki in group feeling yang sangat kuat, sehingga cenderung eksklusif. Satu-satunya cara untuk dapat diterima secara penuh adalah harus dilahirkan dalam masyarakat Jepang.
5. Kuatnya ikatan kelompok
            Peran kelompok dalam masyarakat Jepang begitu menonjol. Karena itu kebanggaan, keterikatan, loyalitas dan tanggung jawabterhadap kelompok mulai dari keluarga hingga kepada negara begitu besar. Kohesivitas kelompok begitu kental.
6. Komitmen Kesejahteraan
            Orientasi Jepang adalah pada kesejahteraan masyarakat ketimbang kepada ideologi atau agama. Itulah yang menyebabkan orang Jepang mudah menerima perubahan.
7. Rasa Superioritas
            Walaupun bersedia mengimpor gagasan, institusi, pengetahuan dan teknologi asing, umumnya Jepang kurang berminat melakukan kontak langsung dengan orang asing. Namun demikian mereka merasa superior di antara bangsa-bangsa lain
            Tanpa memperhatikan dan memahami ketujuh karakteristik yang telah disebutkan maka akan sulit bagi orang asng untuk bekerja atau berbisnis dengan orang Jepang.

GAYA MANAJEMEN KHAS JEPANG
            Keberhasilan Jepang dalam membangun bangsa khususnya dalam bidang ekonomi membuat konsep konsep manajemen Jepang menjadi alternatif pilihan di samping konsep Barat yang rasional. Setidaknya ada 7 hal yang mesti diperhatikan oleh pebisnis, manajer non-Jepang dalam melakukan hubungan bisnis atau mengelola bisnis di Jepang yaitu:
1. Pengendalian Kritik
            Bagi kebanyakan orang Jepang kehormatan dan harga diri hampir di atas segalanya. Maka kritik terbuka seperti menghina secara langsung di anggap tabu, karena mengarah pada pelecehan harga diri. Maka itu proses penyampaian saran maupun kritik harus dilakukan dengan hati-hati, terselubung dan seimbang serta disampaikan secara halus.
2. Pemberian Pujian
            Orang Jepang sependapat dengan konsep “kritiklah orang lain di bawah empat mata, dan pujilah di tempat umum”. Namun demikian, sebuah pujian harus dilakukan secara pas dan tidak berlebihan seperti melalui surat lui surat atau sobekan kertas kecil akan sangat melegakan bagi sebagian orang Jepang.
3. Pengelolaan Konflik
            Orang Jepang membutuhkan hubungan baik. Hal ini tercermin dari penegakan konsep harmoni dalam berbagai kelompok dan aktivitas kehidupan. Bila dalam kelompok terjadi konflik maka diselesaikan lewat kompromi atas dasar makeru ga kachi (mengalah untuk maksud luhur). Jika kelompok terjadi konflik maka diselesaikan lewat kompromi atas dasar makeru ga kachi (mengalah untuk maksud luhur).
4. Orientasi pada Pemecahan Masalah
            Kebanyakan orang/manajer Jepang cenderung menekankan pentingnya orientasi pada pemecahan masalah. Bila terjadi persoalan, bukan “siapa” yang berbuat kesalahan tetapi “apa” yang salah dan “bagaimana” mencari pemecahannya. Dengan demikian kebanyakan pekerja Jepang cepat sadar bila melakukan kesalahan dan cepat bertindak memperbaiki keselahannya.
5. Konsep Nemawashi
            Dalam manajemen pengambilan keputusan bangsa Jepang biasanya dilakukan secara partisipatif. Jadi corak kepemimpinan dan manajemen bersifat kolektif dan konsensus.

PENUTUP
            Jepang memiliki sumber daya alam yang sangat terbatas. Kemiskinan sumber alam ini, membuat Jepang mengandalkan aktivitas ekspor-impor. Kekalahan pada perang Dunia II membuat struktur dan fasilitas industri Jepang hancur. Tapi dalam kurun waktu 10 tahun Jepang dapat membangunnya kembali lebih modern. Pada tahun 1955-1964 lompatan besar ekonomi Jepang terjadi sehingga intensitas penetrasi pasar semakin diarahkan ke berbagai penjuru dunia.
            Peran pemerintah dan kerjasama dengan sektor swasta membuat akselerasi perdagangan Jepang meningkat hebat. Hingga Jepang bisa dibilang sederajat dengan Amerika dalam posisi negara dagang terbesar. Jepang ternyata lebih unggul dalam informasi perdagangan internasional mulai dari produk-produk yang dibutuhkan konsumen lokal-global, pola bisnis hingga strategi pemasaran. Berbagai universitas di Jepang dimanfaatkan untuk pengelolaan informasi bisnis seperti Universitas Tokyo, Universitas Kyoto. Para pengumpul informasi disebarkan ke berbagai penjuru dunia untuk memahami secara mendalam karakteristik negara konsumen.
            Oleh karena itu diperlukan kepekaan dan pemahaman terhadap perbedaan antar budaya. Setiap budaya harus diperlalukan sebagaimana adanya. Disinilah pentingnya Komunikasi Antarbudaya mengajarkan dan menganggap setiap budaya sebagai entitas sederajat dan harus dipahami secara empatik

No comments:

Post a Comment