Thursday, November 28, 2013

Kurt Lewin

A. Biografi Kurt Lewin
Kurt Lewin (1890-1947) di sebut-sebut sebagai Bapak Psikologi Sosial karena buah karya dan pemikiran-pemikirannya yang memiliki dampak yang mendalam terhadap psikologi sosial terutama dalam masalah dinamika kelompok dan penelitian tindakan. Namun demikian, buah karya dan pemikirannya tersebut juga sangat relevan bagi para pendidik dalam dunia pendidikan.


Kurt Lewin lahir pada tanggal 9 September 1890 di desa Mogilno di Prusia (sekarang bagian dari Polandia). Dia adalah anak ke-dua dari empat bersaudara. Dia dibesarkan dalam keluarga Yahudi kelas menengah. Ayahnya memiliki sebuah toko kelontong kecil dan pertanian. Mereka pindah ke Berlin ketika ia berusia 15 dan dia terdaftar di Gymnasium. Pada tahun 1909 Kurt Lewin memasuki Universitas Frieberg untuk belajar kedokteran. Dia kemudian dipindahkan ke Universitas Munich untuk belajar biologi. Saat menjadi mahasiswa, ia mulai banyak terlibat dalam pergerakan kaum sosialis. Perhatiannya pada masalah-masalah pergerakan sosial muncul dan mendorongnya untuk berperan serta dalam memerangi anti-Semitisme, menuntut demokratisasi bagi institusi Jerman, dan perbaikan bagi hak-hak kaum perempuan. Bersama dengan rekan-rekan mahasiswanya, ia mengorganisasikan diri untuk memberi pengajaran pada program pendidikan orang dewasa yaitu kelas para pekerja perempuan dan laki-laki.

Gelar doktornya diambilnya di Universitas Berlin di mana ia mengembangkan minat dalam bidang filsafat ilmu dan psikologi Gestalt. Gelar Ph.D. nya diberikan pada 1916, tapi pada saat itu ia sedang mengabdi pada militer Jerman. Dia bahkan terluka dalam pertempuran. Pada tahun 1921 Kurt Lewin bergabung dalam Institusi psikologi pada Universitas Berlin. Disana ia mengajar dan mengadakan seminar-seminar dalam bidang filsafat dan psikologi. Dia merupakan dosen yang antusias yang menarik minat para mahasiswa. Namanya mulai dikenal baik dalam dunia akademisi maupun publisistik. Karyanya menjadi dikenal di Amerika dan dia diundang selama satu semester sebagai profesor tamu di Stanford pada tahun 1930.

Pada tahun 1933 karena pertimbangan politik yang semakin memburuk di Jerman ia dan istrinya juga anak perempuan mereka menetap di Amerika Serikat dan menjadi warga negara Amerika pada tahun 1940. Pada 1933 Kurt Lewin untuk pertama kali bekerja di Sekolah Ekonomi Cornell Home dan pada tahun 1935 ia mengajar di University of Iowa. Pada tahun yang sama, koleksi paper pertamanya dalam Bahasa Inggris yaitu A Dynamic Theory of Personality diterbitkan. Di Iowa ia terus mengembangkan minatnya dalam bidang sosial dan melakukan penelitian di daerah itu. University Iowa tetap menyimpan data base Kurt Lewin sampai tahun 1944.

Sejak tahun 1940, Kurt Lewin terlibat secara signifikan dalam berbagai inisiatif penelitian terapan terkait dengan masalah perang. Hal ini termasuk menjelajahi moral pasukan tempur, perang psikologis, dan reorientasi ketiadaan konsumsi makanan saat pasokan makanan sedikit. Komitmen sosialnya senantiasa kuat dan ia banyak diminta menjadi pembicara masalah-masalah minoritas dan hubungan antar-kelompok tersebut. Dia ingin sekali mendirikan sebuah pusat penelitian bagi dinamika-dinamika kelompok dan pada tahun 1944 mimpi ini terwujud dengan didirikannya Pusat Penelitian Dinamika Kelompok di Massachussetts Institut of Technology (MIT). Pada saat yang sama, Kurt Lewin juga terlibat dalam sebuah proyek untuk Kongres Yahudi Amerika di New York yakni Komisi antar-hubungan Masyarakat. Hal itu membuat penelitian tindakan (penelitian yang diarahkan pada penyelesaian masalah sosial) model Lewin digunakan dalam sejumlah studi yang signifikan terkait prasangka agama dan ras. Alhasil, pada tahun 1946, penanganan proyek ini telah membuahkan karya bersama para tokoh dan pemimpin masyarakat juga para fasilitator kelompok. Dia dan rekan-rekannya bisa mendapatkan dana dari kantor Naval Research untuk mendirikan Laboratorium Pelatihan Nasional pada tahun 1947 di Bethel, Maine. Namun, Lewin meninggal karena serangan jantung di Newtonville, Massachussetts dalam usia 56 tahun pada tanggal 11 Februari, 1947 sebelum Laboratorium didirikan.

B. Konstruksi Dasar Teori Medan Kognitif

Teori Medan atau Field Theory, merupakan salah satu teori yang termasuk rumpun Cognitive-Gestalt-Field. Teori ini sama dengan Gestalt menekankan keseluruhan dan kesatupaduan.[3] Sebagai langkah awal, penting sekali mengenali pondasi yang mengkonstruksi teori ini. Menurut psikologi gestalt, keseluruhan itu berbeda dari penjumlahan bagian-bagiannya atau membagi-bagi berarti mendistorsi. Kita tidak akan dapat memahami atau menikmati pengalaman mendengarkan simfoni musik orchestra dengan menganalisa konstribusi musisi-musisi yang bermain di dalamnya secara terpisah. Atau kita juga tidak mungkin dapat menikmati keindahan sebuah lukisan bila melihat bagian-bagiannya secara terpisah. Pada pokoknya, psikologi gestalt selalu memberi penekanan pada totalitas atau keseluruhan, bukan pada bagian-bagian

Berbeda dengan kaum behavioral yang berpendapat bahwa belajar adalah pengalaman empiris, maka menurut Gestaltis belajar adalah fenomena konitif. Kognisi sendiri dipahami sebagai proses mental karena kognisi mencerminkan pemikiran dan tidak dapat diamati secara langsung. Kognisi tidak dapat diukur secara langsung, namun melalui perilaku yang ditampilkan dan dapat diamati. Oleh sebab itu belajar merupakan proses mental dan aspek-aspek belajar adalah unik bagi spesies manusia.

Ahli-ahli gestalt juga beranggapan bahwa benda-benda hidup berbeda dengan mesin, selalu hidup dan saling mempengaruhi dengan lingkungannya Interaksi antara individu dan lingkungan disebut sebagai perceptual field (medan persepsi). Setiap medan persepsi memiliki organisasi, yang cenderung dipersepsikan oleh manusia sebagai figure and ground. Oleh karena itu, Psikologi gestalt menekankan adanya pengorganisasian proses-proses dalam persepsi, belajar dan problem solving dan juga mempercayai bahwa setiap individu diarahkan untuk mengorganisasikan serpihan informasi yang bersumber dari beragam cara atau proses. Pengorganisasian inilah yang kemudian mempengaruhi makna yang dibentuk.

Gestaltian juga menganut pandangan yang berbeda dalam memandang problem tubuh-pikiran. Mereka mengasumsikan adanya Isomorphism yakni adanya hubungan antara aktivitas otak dengan kesadaran, antara pengalaman psikologis dengan proses yang ada di dalam otak. Psikolog Gestalt berkali-kali menyatakan pendapatnya bahwa dunia fenomenal (kesadaran) adalah ekspresi yang akurat dari situasi. Kesadaran pula yang menjadikan semua informasi sensoris menjadi bermakna.

Dalam kaitannya dengan pokok-pokok teori belajar menurut aliran Gestalt, disamping hukum-hukum pengamatan yang menentukan proses belajar, menurut aliran ini insight adalah inti dari belajar. Insight dapat diartikan pemahaman atau pencerahan sehingga seorang pelajar dapat menyelesaikan problem maupun tugas belajar. Maka menurut aliran ini, remedial atau pengulang-ulangan materi bukan hal penting walaupun belajar dengan insight dapat juga diulangi. Contoh: pengulang-ulangan dalam melakukan latihan soal-soal UN membuat siswa mungkin dapat menjawab soal saat ujian berlangsung namun belum tentu dia memahami subtansi soal sehinga bila soal berbeda dengan rumus yang sama belum tentu dia dapat menyelesaikannya. Belajar dengan insight membuat siswa memahami subtansi masalah hingga bila soal diulang dalam format berbeda ia masih dapat menyelesaikannya.

C. Teori Medan Kognitif

Menurut Kurt Lewin perilaku ditentukan oleh totalitas situasi yang melingkupi seseorang. Dalam teori medannya, 'lapangan' didefinisikan sebagai the totality of coexisting facts which are conceived of as mutually interdependen. (totalitas fakta-fakta yang mengiringi dan dipahami saling tergantung atau terkait satu dengan yang lainnya). Setiap individu berperilaku berbeda sesuai dengan persepsi diri dan lingkungannya bekerja. Medan psikologis atau lifespace, di mana orang berperilaku harus ditinjau, dalam rangka memahami perilaku itu sendiri. Penilaian seseorang berdasar persepsi diri dan aspek lingkungan yang mendukungnya ini disebabkan karena otak adalah sistem fisik, otak menciptakan medan yang memengaruhi informasi yang masuk ke dalamnya, seperti medan magnet memengaruhi partikel logam. Medan kekuatan inilah yang mengatur pengalaman sadar.

Kurt Lewin (1892-1947) menaruh perhatian pada kepribadian dan psikologi sosial. Lewin memandang bahwa masing-masing individu berada di dalam suatu medan kekuatan, yang bersifat psikologis. Medan kekuatan psikologis dimana individu bereaksi disebut sebagai ”Life Space”. Life Space mencakup perwujudan lingkungan dimana individu bereaksi, misalnya: orang-orang yang ia jumpai, objek material yang ia hadapi, serta fungsi-fungsi kejiwaan yang ia miliki. Lewin berpendapat bahwa tingkah laku merupakan hasil tindakan antar kekuatan-kekuatan, baik yang dari dalam diri individu seperti; tujuan, kebutuhan, tekanan kejiwaan maupun dari luar diri individu, seperti; tantangan dan permasalahan.

Dalam medan hidup ini ada sesuatu tujuan yang ingin dicapai, tetapi untuk mencapainya selalu ada barier atau hambatan. Individu memiliki satu atau sejumlah dorongan dan berusaha mengatasi hambatan untuk mencapai tujuan tersebut. Apabila individu telah berhasil mencapai tujuan, maka ia masuk ke dalam medan atau lapangan psikologis baru yang di dalamnya berisi tujuan baru dengan hambatan-hambatan yang baru pula. Demikian seterusnya individu keluar dari suatu medan dan masuk ke medan psikologis berikutnya.

Hall dan Lindzey merangkum poin utama Teori Medan Kognitif Lewin sebagai berikut:

1. Perilaku adalah fungsi dari medan yang ada pada saat perilaku tersebut terjadi.

2. Analisa tingkah laku dimulai dengan situasi sebagai keseluruhan dari komponen-komponen tingkah laku yang terpisah dan berbeda.

3. Individu yang konkret dalam sebuah situasi nyata (konkret) dapat digambarkan secara matematis.

Dalam teori ini, individu dan kelompok dapat dilihat dalam kacamata topologi (menggunakan peta sebagai representasi). Individu berpartisipasi dalam serangkaian ruang hidup seperti, keluarga, sekolah, kerja, masjid dan ini dibangun di bawah pengaruh berbagai vektor. Tingkah laku atau gerak seseorang akan terjadi kalau ada kekuatan yang cukup yang mendorongnya. Meminjam dari matematika dan fisika, Lewin menyebut kekuatan itu dengan nama Vektor. Vektor digambar dalam bentuk panah, merupakan kekuatan psikologis yang mengenai seseorang, cenderung membuatnya bergerak ke arah tertentu. Arah dan kekuatan vektor adalah fungsi dari valensi positif dan negatif dari satu atau lebih region dalam lingkungan psikologis. Jadi kalau satu region mempunyai valensi positif misalnya berisi makanan yang diinginkan, vektor yang mengarahkan ke region itu mengenai lingkaran pribadi. Kalau region yang kedua valensinya negatif misal berisi anjing yang menakutkan, vektor lain yang mengenai lingkaran pribadi mendorong menjauhi region anjing. Jika beberapa vektor positif mengenai dia, misalnya, jika seseorang dalam kondisi sulit dan lapar sementara makanan harus disiapkan, atau orang harus hadir dalam pertemuan penting sedang ia tidak punya waktu untuk makan siang, hasil gerakannya (tingkah lakunya) merupakan jumlah dari semua vektor.

Kurt Lewin melihat needs (kebutuhan) sebagai kekuatan yang mendasar yang menentukan perilaku fisiologis dan inilah yang disebut deskripsi fisik dari medan. Dalam teori ini kita juga bisa melihat bagaimana Kurt Lewin berpertautkan pemahaman dari topologi (lifespace misalnya), psikologi (kebutuhan, aspirasi), dan sosiologi (misalnya medan gaya-motif yang jelas tergantung pada tekanan kelompok). Ketiganya saling berhubungan dalam sebuah tingkah laku. Intinya, teori medan merupakan sekumpulan konsep dimana seseorang dapat menggambarkan kenyataan psikologis.

Konsep-konsep teori medan telah diterapkan Lewin dalam berbagai gejala psikologis dan sosiologis, termasuk tingkah laku bayi dan anak anak , masa adolesen, keterbelakangan mental, masalah-masalah kelompok minoritas, perbedaan perbedan karakter nasional dan dinamika kelompok.

D. Penggunaan Teori Medan dalam Belajar

1. Belajar sebagai perubahan sistem kognitif

Teori Medan (Field Theory) Lewin mengemukakan bahwa siswa dalam situasi belajar berada dalam satu medan atau lapangan psikologis. Dalam situasi belajar siswa menghadapi suatu tujuan yang ingin dicapai, tetapi selalu terdapat hambatan yaitu mempelajari bahan belajar, maka timbullah motif untuk mengatasi hanbatan itu yaitu dengan mempelajari bahan belajar tersebut. Apabila hambatan itu telah diatasi, artinya tujuan belajar telah tercapai, maka ia akan masuk ke dalam medan baru dan tujuan baru, demikian seterusnya.

Menurut teori ini belajar berusaha mengatasi hambatan-hambatan untuk mencapai tujuan. Kurikulum sekolah dengan segala macam tuntutannya, berupa kegiatan belajar di dalam kelas, laboratorium, di workshop, di luar sekolah, penyelesaian tugas-tugas, ujian-ulangan dan lain-lain, pada dasarnya merupakan hambatan yang harus diatasi.

Menurut Lewin belajar terjadi akibat adanya perubahan struktur kognitif. Perubahan kognitif adalah hasil dari dua macam kekuatan yaitu struktur medan kognitif dan motivasi internal individu. Apabila seseorang belajar, maka dia akan tambah pengetahuannya. Artinya tahu lebih banyak dari pada sebelum ia belajar. Ini berarti ruang hidupnya lebih terdiferensiasi, lebih banyak subregion yang dimilikinya, yang dihubungkan dengan jalur-jalur tertentu. Dengan kata lain orang tahu lebih banyak tentang fakta-fakta dan saling berhubungan antara fakta-fakta itu.

Perubahan struktur pengetahuan (struktur kognitif) dapat terjadi karena ulangan; situasi mungkin perlu diulang-ulang sebelum strukturnya berubah. Akan tetapi yang penting bukanlah bahwa ulangan itu terjadi, melainkan bahwa struktur kognitif itu berubah. Dengan pengaturan masalah (problem) yang lebih baik, struktur mungkin dapat berubah dengan ulangan yang sangat sedikit. Hal ini telah terbukti dalam ekserimen mengenai insight. Terlalu banyak ulangan tidak menambah belajar; sebaliknya ulangan itu mungkin menyebabkan kejenuhan psikologis (pychological satiation) yang dapat membawa disorganisasi (kekacauan) dan dediferensiasi (kekaburan ) dalam sistem kognitif.

Perubahan dalam struktur kognitif ini untuk sebagian berlangsung dengan prinsif pemolaan (patterning) dalam pengamatan, jadi disinilah lagi terbukti betapa pentingnya pengamatan itu dalam belajar. Perubahan itu disebabkan oleh kekuatan yang telah intrinsik ada dalam struktur kognitif. Tetapi struktur kognitif itu juga berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan yang ada pada individu. Disinilah terjadi belajar dengan motivasi.

2. Hadiah dan Hukuman menurut Kurt Lewin

Bila kaum Behavioral memandang hadiah dan hukuman sebagai The Law of Effect and The Law of Reinforcement, maka Kurt Lewin menggambarkan situasi yang mengandung hadiah atau hukuman sebagai situasi yang mengandung konflik. Hal ini digambarkannya dalam topologi berikut:

a. Situasi yang mengandung hukuman
Di dalam situasi yang digambarkan di atas, ribadi (P) harus melakukan pekerjaan atau tugas yang tidak menyenangkan (Tg), karenanya ada kebutuhan untuk meninggalkan tugas yang tidak menyenangkan itu. Supaya ia tetap mengerjakan tugas itu, ada ancaman hukuman bila ia tidak menyelesaikan tugas tersebut (Hk). Sehingga dalam situasi seperti ini lalu timbul konflik, yaitu si pribadi harus memilih diantara dua kemungkinan yang tidak menyenangkan tersebut. Dalam situasi ini, malah ada kecenderungan pribadi menghindarkan diri dari kedua kondisi yang tidak menyenangkan dirinya. Supaya pribadi tidak meninggalkan medan itu maka harus dibuat barier (B); barier dalam kehidupan nyata adalah kekuasaan atau pengawasan.


b. Situasi yang mengandung hadiah

Dalam situasi yang mengandung hadiah, pribadi tidak perlu dimasukkan dalam tembok pengawasan seperti yang digambarkan pada topologi yang mengandung hukuman, karena sifat menariknya hadiah akan menahan pribadi untuk tetap berada dalam medan. Akan tetapi barier (B) tetap diperlukan untuk mencegah supaya pribadi jangan sampai memperoleh hadiah secara langsung tanpa mengerjakan tugas yang seharusnya dikerjakan. Pengawasan dalam situasi ini masih diperlukan karena hadiah (Hd) berhubungan dengan aktivitas menjalankan tugas (Tg) secara eksternal, maka selalu ada kecenderungan untuk mencari jalan lebih singkat bahkan bila mungkin mendapatkan hadiah tanpa mengerjakan tugasnya.

3. Masalah berhasil dan gagal

Kurt Lewin lebih setuju penggunaan istilah sukses dan gagal dari pada istilah hadiah dan hukuman. Sebab apabila tujuan-tujuan yang akan kita capai itu adalah intrinsik, maka kita lebih tepat menggunakan istilah berhasil atau gagal daripada terminologi hadiah dan hukuman. Istilah hadiah dan hukuman lebih dekat pada pendekatan nonpsikologis sedang istilah sukses dan gagal merupakan kajian dalam pendekatan psikologis. Secara psikologis yang penting memang adalah bagaimana yang dialami individu dalam menghadapi suatu problem. Suatu pengalaman sukses haruslah dimengerti sesuai dengan apa yang telah dikerjakan atau dicapai oleh seseorang (pelajar). Misalnya seorang pelajar yang merasa sukses karena naik kelas dengan nilai terbaik. Namun ada pula yang tetap merasa sukses karena ia naik kelas walau tidak dengan nilai terbaik.

4. Sukses memberi mobilisasi energi cadangan

Kurt Lewin beranggapan bahwa dinamika kepribadian itu dikarenakan oleh adanya energi dalam diri seseorang yang disebut energi psikis. Energi psikis inilah yang dipergunakan untuk berbagai aktivitas seperti mengamati, mengingat, berpikir dan sebagainya. Dalam keadaan sehari-hari, hanya sedikit saja energi psikis yang dipergunakan dan sisanya tersimpan sebagai energy cadangan. Apabila orang mendapat pengalaman sukses, maka akan terjadi mobilisasi energi cadangan sehingga kemampuan individu untuk menyelesaikan problem bertambah. Oleh sebab itu secara praktis sangat dianjurkan untuk sebanyak mungkin memberikan kesempatan kepada para peserta didik kita supaya mereka mendapatkan pengalaman sukses.

E. Evaluasi konsep Medan kognitif

Kritik terhadap teori Lewin dapat dikelompokkan dalam 5 topik yaitu :

1. Lewin tidak mengelaborasi pengaruh lingkungan luar atau lingkungan obyektif, memang dikemukakan sifat bondaris antara lingkungan psikologis dengan lingkungan obyektif yang permenable, namun hal ini tidak diikuti oleh penjelasan dinamika bagaimana lingkungan luar itu mempengaruhi region-region atau menjadi region baru.

2. Lewin kurang memperhatikan sejarah individu pada masa lalu sebagai penentu tingkah laku. Ini merupakan resiko teori yang mementingkan masa kini dan masa yang akan datang. Teori ini juga terlalu bersibuk diri dengan aspek-aspek yang mendalam dari kepribadian sehingga mengabaikan tingkah laku motoris yang nampak dari luar.

3. Lewin menyalahgunakan konsep ilmu alam dan konsep matematika. Memang tidak mudah memahami jiwa dengan memakai rumus-rumus matematika. Bahkan Lewin berani mengambil resiko dengan memakai istilah-istilah dalam matematika dan fisika untuk dipakai dalam psikologi dengan makna yang sangat berbeda dengan makna aslinya.

4. Penggunaan konsep-konsep topologi telah menyimpang dari arti sebenarnya. Penggambaran topologis dan vaktorial dari Lewin tidak mengungkapkan sesuatu yang baru tentang tingkah laku.

5. Banyak konsep dan konstruk yang tidak didefinisikan secara jelas sehingga memberikan arti yang kabur.

F. Kesimpulan

Kurt Lewin (1890-1947) di sebut-sebut sebagai Bapak Psikologi Sosial karena buah karya dan pemikiran-pemikirannya yang memiliki dampak yang mendalam terhadap psikologi sosial terutama dalam masalah dinamika kelompok dan penelitian tindakan. Namun demikian, buah karya dan pemikirannya tersebut juga sangat relevan bagi para pendidik dalam dunia pendidikan. Salah satu buah pemikirannya yang masih dapat dijadikan referensi guna merujuk perkembangan metode pembelajaran yang makin beragam adalah Teori Medan kognitif yang lebih dikenal dengan Teori Medan.

Teori Medan dibangun berdasarkan prinsip-prinsip yang terdapat dalam psikologi Gestalt. Konstribusi penting dari psikologi ini adalah kritiknya terhadap pendekatan molekular yang tidak menyeluruh dari behaviorisme S-R. Ahli-ahli gestalt juga beranggapan bahwa benda-benda hidup berbeda dengan mesin, selalu hidup dan saling mempengaruhi dengan lingkungannya. Diantara prinsip penting dalam belajar ala psikologi Gestal adalah adanya insight atau pemahaman dan pencerahan. Kemudian Lewin menambah unsur baru dari teori belajar gestalt yang disebut sebagai Teori Medan Kognitif. Menurut Lewin, individu berada dalam suatu medan kekuatan psikologis. Individu bereaksi dengan life space (Ruang Hidup) yang mencakup perwujudan lingkungan di mana siswa bereaksi dengan orang-orang yang ditemui, obyek material yang dihadapi serta fungsi-fungsi kejiwaan yang dimiliki. Selain faktor-faktor yang sifatnya personal, perilaku individu juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersifat sosial lingkungan. Lewin berpendapat bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor yang bersifat pribadi dan faktor yang bersifat sosial

Inti dari teori ini adalah adanya Life space (LS) yang merupakan konstelasi dari faktor-faktor yang menentukan baik individual maupun lingkungan. Perilaku seseorang (B) dapat digambarkan sebagai fungsi dari Life space (LS) dimana LS terdiri dari faktor personal (P) dan lingkungan (E). Jadi dalam bentuk persamaan maka B= f(P,E). Life space terbentuk dari motif-motif, sikap dan hal lain yang merupakan keunikan dari kepribadian seseorang ditambah dengan tekanan-tekanan sosial seperti norma, hukum dan sebagainya. Life space ini terbagi atas area atau daerah-daerah yang berbeda dimana lifespace ini merupakan semua kemungkinan yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Perilaku dikatakan sebagai pergerakan dalam life space yang merupakan resultan dari kekuatan-kekuatan. Kombinasi kekuatan positif dan negatif akan menentukan perilaku dari seseorang. 

Belajar merupakan fenomena kognisi yang penekanannya lebih tertuju pada proses mental dan bukan melulu pengalaman empiris. Disinilah letak perbedaan mendasar antara kaum kognitivisme dengan behavioralisme. Menurut teori ini belajar berusaha mengatasi hambatan-hambatan untuk mencapai tujuan. Kurikulum sekolah dengan segala macam tuntutannya, berupa kegiatan belajar di dalam kelas, laboratorium, di workshop, di luar sekolah, penyelesaian tugas-tugas, ujian, ulangan dan lain-lain, pada dasarnya merupakan hambatan yang harus diatasi. Tantangan yang dihadapi dalam bahan belajar membuat siswa bergairah untuk mengatasinya. Bahan belajar yang baru, yang banyak mengandung masalah yang perlu dipecahkan membuat siswa tertantang untuk mempelajarinya. Pelajaran yang memberi kesempatan pada siswa untuk menemukan konsep-konsep, prnsip-prinsip, dan generalisasi akan menyebabkan siswa berusaha mencari dan menemukan konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan generalisasi tersebut. Bahan belajar yang telah diolah secara tuntas oleh guru sehingga tinggal menelan saja kurang menarik bagi siswa. Penggunaan metode eksperimen, inkuiri, diskoveri juga memberikan tantangan bagi siswa untuk belajar secara lebih giat dan sungguh-sungguh.

G. Implikasi

1. Bila teori-teori Behavioral menurunkan strategi belajar yang inovatif, dengan pengkondisian dan rekayasa lingkungan, maka kaum gestaltian dan kognitivisme mendekatkan kita pada strategi belajar inquiri (penemuan).

2. Belajar adalah proses mental karena itu menurut gagasan ini, belajar adalah memuaskan secara personal dan tidak perlu didorong-dorong oleh penguatan eksternal. Kelas yang berorientasi gestalt akan dicirikan oleh hubungan memberi dan menerima antara murid dengan guru.

3. Bila dalam teori Thorndike belajar dan memahami terjadi secara bertahap atau incremental, dalam teori ini belajar harus melalui insight.

H. Saran

1. Karena perilaku belajar dalam pandangan ini harus dilihat secara menyeluruh bagian interaksi diri dengan lingkungannya, maka hendaknya guru memilih tema-tema menarik, mengundang pertanyaan, yang sesuai dengan konteks kekinian siswa seperti lewat metode pembelajaran kontekstual.

2. Dalam kelas yang berorientasi Gestalt, atensi (pengamatan) merupakan hal pokok untuk belajar, karena itu langkah pertama guru dalam pembelajaran hendaknya mencari upaya agar perhatian siswa tertuju padanya antara lain dengan cara: menampilkan topik-topik menarik, guru sering-sering mengajukan pertanyaan penyela ditengah-tengah pembahasan, menyegerakan waktu istirahat, memanej tempat duduk siswa yang mengalami kesulitan dalam atensi belajar dengan memberi tempat duduk mereka dekat dari guru.

3. Hendaknya para guru berupaya mencari jalan tengah diantara konsep belajar behavioral dengan kognitivisme, dimana prinsip-prinsip inovatif dan rekayasa lingkungan belajar, reward dan reinforcemen tetap dapat dikombinasikan dengan prinsip dan Teori Medan dalam gestalt.

No comments:

Post a Comment