A.
Biografi Kurt Lewin
Kurt
Lewin (1890-1947) di sebut-sebut sebagai Bapak Psikologi Sosial karena buah
karya dan pemikiran-pemikirannya yang memiliki dampak yang mendalam terhadap
psikologi sosial terutama dalam masalah dinamika kelompok dan penelitian
tindakan. Namun demikian, buah karya dan pemikirannya tersebut juga sangat
relevan bagi para pendidik dalam dunia pendidikan.
Kurt
Lewin lahir pada tanggal 9 September 1890 di desa Mogilno di Prusia (sekarang
bagian dari Polandia). Dia adalah anak ke-dua dari empat bersaudara. Dia
dibesarkan dalam keluarga Yahudi kelas menengah. Ayahnya memiliki sebuah toko
kelontong kecil dan pertanian. Mereka pindah ke Berlin ketika ia berusia 15 dan
dia terdaftar di Gymnasium. Pada tahun 1909 Kurt Lewin memasuki Universitas
Frieberg untuk belajar kedokteran. Dia kemudian dipindahkan ke Universitas
Munich untuk belajar biologi. Saat menjadi mahasiswa, ia mulai banyak terlibat
dalam pergerakan kaum sosialis. Perhatiannya pada masalah-masalah pergerakan
sosial muncul dan mendorongnya untuk berperan serta dalam memerangi
anti-Semitisme, menuntut demokratisasi bagi institusi Jerman, dan perbaikan
bagi hak-hak kaum perempuan. Bersama dengan rekan-rekan mahasiswanya, ia
mengorganisasikan diri untuk memberi pengajaran pada program pendidikan orang
dewasa yaitu kelas para pekerja perempuan dan laki-laki.
Gelar
doktornya diambilnya di Universitas Berlin di mana ia mengembangkan minat dalam
bidang filsafat ilmu dan psikologi Gestalt. Gelar Ph.D. nya diberikan pada
1916, tapi pada saat itu ia sedang mengabdi pada militer Jerman. Dia bahkan
terluka dalam pertempuran. Pada tahun 1921 Kurt Lewin bergabung dalam Institusi
psikologi pada Universitas Berlin. Disana ia mengajar dan mengadakan
seminar-seminar dalam bidang filsafat dan psikologi. Dia merupakan dosen yang
antusias yang menarik minat para mahasiswa. Namanya mulai dikenal baik dalam
dunia akademisi maupun publisistik. Karyanya menjadi dikenal di Amerika dan dia
diundang selama satu semester sebagai profesor tamu di Stanford pada tahun
1930.
Pada
tahun 1933 karena pertimbangan politik yang semakin memburuk di Jerman ia dan
istrinya juga anak perempuan mereka menetap di Amerika Serikat dan menjadi
warga negara Amerika pada tahun 1940. Pada 1933 Kurt Lewin untuk pertama kali
bekerja di Sekolah Ekonomi Cornell Home dan pada tahun 1935 ia mengajar di
University of Iowa. Pada tahun yang sama, koleksi paper pertamanya dalam Bahasa
Inggris yaitu A Dynamic Theory of Personality diterbitkan. Di Iowa ia terus
mengembangkan minatnya dalam bidang sosial dan melakukan penelitian di daerah
itu. University Iowa tetap menyimpan data base Kurt Lewin sampai tahun 1944.
Sejak
tahun 1940, Kurt Lewin terlibat secara signifikan dalam berbagai inisiatif
penelitian terapan terkait dengan masalah perang. Hal ini termasuk menjelajahi
moral pasukan tempur, perang psikologis, dan reorientasi ketiadaan konsumsi
makanan saat pasokan makanan sedikit. Komitmen sosialnya senantiasa kuat dan ia
banyak diminta menjadi pembicara masalah-masalah minoritas dan hubungan
antar-kelompok tersebut. Dia ingin sekali mendirikan sebuah pusat penelitian
bagi dinamika-dinamika kelompok dan pada tahun 1944 mimpi ini terwujud dengan
didirikannya Pusat Penelitian Dinamika Kelompok di Massachussetts Institut of
Technology (MIT). Pada saat yang sama, Kurt Lewin juga terlibat dalam sebuah
proyek untuk Kongres Yahudi Amerika di New York yakni Komisi antar-hubungan
Masyarakat. Hal itu membuat penelitian tindakan (penelitian yang diarahkan pada
penyelesaian masalah sosial) model Lewin digunakan dalam sejumlah studi yang
signifikan terkait prasangka agama dan ras. Alhasil, pada tahun 1946,
penanganan proyek ini telah membuahkan karya bersama para tokoh dan pemimpin
masyarakat juga para fasilitator kelompok. Dia dan rekan-rekannya bisa
mendapatkan dana dari kantor Naval Research untuk mendirikan Laboratorium
Pelatihan Nasional pada tahun 1947 di Bethel, Maine. Namun, Lewin meninggal
karena serangan jantung di Newtonville, Massachussetts dalam usia 56 tahun pada
tanggal 11 Februari, 1947 sebelum Laboratorium didirikan.
B.
Konstruksi Dasar Teori Medan Kognitif
Teori
Medan atau Field Theory, merupakan salah satu teori yang termasuk rumpun
Cognitive-Gestalt-Field. Teori ini sama dengan Gestalt menekankan keseluruhan
dan kesatupaduan.[3] Sebagai langkah awal, penting sekali mengenali pondasi
yang mengkonstruksi teori ini. Menurut psikologi gestalt, keseluruhan itu
berbeda dari penjumlahan bagian-bagiannya atau membagi-bagi berarti mendistorsi.
Kita tidak akan dapat memahami atau menikmati pengalaman mendengarkan simfoni
musik orchestra dengan menganalisa konstribusi musisi-musisi yang bermain di
dalamnya secara terpisah. Atau kita juga tidak mungkin dapat menikmati
keindahan sebuah lukisan bila melihat bagian-bagiannya secara terpisah. Pada
pokoknya, psikologi gestalt selalu memberi penekanan pada totalitas atau
keseluruhan, bukan pada bagian-bagian
Berbeda
dengan kaum behavioral yang berpendapat bahwa belajar adalah pengalaman
empiris, maka menurut Gestaltis belajar adalah fenomena konitif. Kognisi
sendiri dipahami sebagai proses mental karena kognisi mencerminkan pemikiran
dan tidak dapat diamati secara langsung. Kognisi tidak dapat diukur secara
langsung, namun melalui perilaku yang ditampilkan dan dapat diamati. Oleh sebab
itu belajar merupakan proses mental dan aspek-aspek belajar adalah unik bagi
spesies manusia.
Ahli-ahli
gestalt juga beranggapan bahwa benda-benda hidup berbeda dengan mesin, selalu
hidup dan saling mempengaruhi dengan lingkungannya Interaksi antara individu
dan lingkungan disebut sebagai perceptual field (medan persepsi). Setiap medan
persepsi memiliki organisasi, yang cenderung dipersepsikan oleh manusia sebagai
figure and ground. Oleh karena itu, Psikologi gestalt menekankan adanya
pengorganisasian proses-proses dalam persepsi, belajar dan problem solving dan
juga mempercayai bahwa setiap individu diarahkan untuk mengorganisasikan
serpihan informasi yang bersumber dari beragam cara atau proses.
Pengorganisasian inilah yang kemudian mempengaruhi makna yang dibentuk.
Gestaltian
juga menganut pandangan yang berbeda dalam memandang problem tubuh-pikiran.
Mereka mengasumsikan adanya Isomorphism yakni adanya hubungan antara aktivitas
otak dengan kesadaran, antara pengalaman psikologis dengan proses yang ada di
dalam otak. Psikolog Gestalt berkali-kali menyatakan pendapatnya bahwa dunia
fenomenal (kesadaran) adalah ekspresi yang akurat dari situasi. Kesadaran pula
yang menjadikan semua informasi sensoris menjadi bermakna.
Dalam
kaitannya dengan pokok-pokok teori belajar menurut aliran Gestalt, disamping
hukum-hukum pengamatan yang menentukan proses belajar, menurut aliran ini
insight adalah inti dari belajar. Insight dapat diartikan pemahaman atau
pencerahan sehingga seorang pelajar dapat menyelesaikan problem maupun tugas
belajar. Maka menurut aliran ini, remedial atau pengulang-ulangan materi bukan
hal penting walaupun belajar dengan insight dapat juga diulangi. Contoh:
pengulang-ulangan dalam melakukan latihan soal-soal UN membuat siswa mungkin
dapat menjawab soal saat ujian berlangsung namun belum tentu dia memahami
subtansi soal sehinga bila soal berbeda dengan rumus yang sama belum tentu dia
dapat menyelesaikannya. Belajar dengan insight membuat siswa memahami subtansi
masalah hingga bila soal diulang dalam format berbeda ia masih dapat
menyelesaikannya.
C.
Teori Medan Kognitif
Menurut
Kurt Lewin perilaku ditentukan oleh totalitas situasi yang melingkupi
seseorang. Dalam teori medannya, 'lapangan' didefinisikan sebagai the totality
of coexisting facts which are conceived of as mutually interdependen.
(totalitas fakta-fakta yang mengiringi dan dipahami saling tergantung atau
terkait satu dengan yang lainnya). Setiap individu berperilaku berbeda sesuai
dengan persepsi diri dan lingkungannya bekerja. Medan psikologis atau
lifespace, di mana orang berperilaku harus ditinjau, dalam rangka memahami
perilaku itu sendiri. Penilaian seseorang berdasar persepsi diri dan aspek
lingkungan yang mendukungnya ini disebabkan karena otak adalah sistem fisik,
otak menciptakan medan yang memengaruhi informasi yang masuk ke dalamnya,
seperti medan magnet memengaruhi partikel logam. Medan kekuatan inilah yang
mengatur pengalaman sadar.
Kurt
Lewin (1892-1947) menaruh perhatian pada kepribadian dan psikologi sosial.
Lewin memandang bahwa masing-masing individu berada di dalam suatu medan
kekuatan, yang bersifat psikologis. Medan kekuatan psikologis dimana individu
bereaksi disebut sebagai ”Life Space”. Life Space mencakup perwujudan
lingkungan dimana individu bereaksi, misalnya: orang-orang yang ia jumpai,
objek material yang ia hadapi, serta fungsi-fungsi kejiwaan yang ia miliki.
Lewin berpendapat bahwa tingkah laku merupakan hasil tindakan antar
kekuatan-kekuatan, baik yang dari dalam diri individu seperti; tujuan,
kebutuhan, tekanan kejiwaan maupun dari luar diri individu, seperti; tantangan
dan permasalahan.
Dalam
medan hidup ini ada sesuatu tujuan yang ingin dicapai, tetapi untuk mencapainya
selalu ada barier atau hambatan. Individu memiliki satu atau sejumlah dorongan
dan berusaha mengatasi hambatan untuk mencapai tujuan tersebut. Apabila
individu telah berhasil mencapai tujuan, maka ia masuk ke dalam medan atau
lapangan psikologis baru yang di dalamnya berisi tujuan baru dengan
hambatan-hambatan yang baru pula. Demikian seterusnya individu keluar dari
suatu medan dan masuk ke medan psikologis berikutnya.
Hall
dan Lindzey merangkum poin utama Teori Medan Kognitif Lewin sebagai berikut:
1.
Perilaku adalah fungsi dari medan yang ada pada saat perilaku tersebut terjadi.
2.
Analisa tingkah laku dimulai dengan situasi sebagai keseluruhan dari
komponen-komponen tingkah laku yang terpisah dan berbeda.
3.
Individu yang konkret dalam sebuah situasi nyata (konkret) dapat digambarkan
secara matematis.
Dalam
teori ini, individu dan kelompok dapat dilihat dalam kacamata topologi
(menggunakan peta sebagai representasi). Individu berpartisipasi dalam
serangkaian ruang hidup seperti, keluarga, sekolah, kerja, masjid dan ini
dibangun di bawah pengaruh berbagai vektor. Tingkah laku atau gerak seseorang
akan terjadi kalau ada kekuatan yang cukup yang mendorongnya. Meminjam dari
matematika dan fisika, Lewin menyebut kekuatan itu dengan nama Vektor. Vektor
digambar dalam bentuk panah, merupakan kekuatan psikologis yang mengenai
seseorang, cenderung membuatnya bergerak ke arah tertentu. Arah dan kekuatan
vektor adalah fungsi dari valensi positif dan negatif dari satu atau lebih
region dalam lingkungan psikologis. Jadi kalau satu region mempunyai valensi
positif misalnya berisi makanan yang diinginkan, vektor yang mengarahkan ke
region itu mengenai lingkaran pribadi. Kalau region yang kedua valensinya
negatif misal berisi anjing yang menakutkan, vektor lain yang mengenai
lingkaran pribadi mendorong menjauhi region anjing. Jika beberapa vektor
positif mengenai dia, misalnya, jika seseorang dalam kondisi sulit dan lapar
sementara makanan harus disiapkan, atau orang harus hadir dalam pertemuan
penting sedang ia tidak punya waktu untuk makan siang, hasil gerakannya
(tingkah lakunya) merupakan jumlah dari semua vektor.
Kurt
Lewin melihat needs (kebutuhan) sebagai kekuatan yang mendasar yang menentukan
perilaku fisiologis dan inilah yang disebut deskripsi fisik dari medan. Dalam
teori ini kita juga bisa melihat bagaimana Kurt Lewin berpertautkan pemahaman
dari topologi (lifespace misalnya), psikologi (kebutuhan, aspirasi), dan sosiologi
(misalnya medan gaya-motif yang jelas tergantung pada tekanan kelompok).
Ketiganya saling berhubungan dalam sebuah tingkah laku. Intinya, teori medan
merupakan sekumpulan konsep dimana seseorang dapat menggambarkan kenyataan
psikologis.
Konsep-konsep
teori medan telah diterapkan Lewin dalam berbagai gejala psikologis dan
sosiologis, termasuk tingkah laku bayi dan anak anak , masa adolesen,
keterbelakangan mental, masalah-masalah kelompok minoritas, perbedaan perbedan
karakter nasional dan dinamika kelompok.
D.
Penggunaan Teori Medan dalam Belajar
1.
Belajar sebagai perubahan sistem kognitif
Teori
Medan (Field Theory) Lewin mengemukakan bahwa siswa dalam situasi belajar
berada dalam satu medan atau lapangan psikologis. Dalam situasi belajar siswa
menghadapi suatu tujuan yang ingin dicapai, tetapi selalu terdapat hambatan
yaitu mempelajari bahan belajar, maka timbullah motif untuk mengatasi hanbatan
itu yaitu dengan mempelajari bahan belajar tersebut. Apabila hambatan itu telah
diatasi, artinya tujuan belajar telah tercapai, maka ia akan masuk ke dalam
medan baru dan tujuan baru, demikian seterusnya.
Menurut
teori ini belajar berusaha mengatasi hambatan-hambatan untuk mencapai tujuan.
Kurikulum sekolah dengan segala macam tuntutannya, berupa kegiatan belajar di
dalam kelas, laboratorium, di workshop, di luar sekolah, penyelesaian
tugas-tugas, ujian-ulangan dan lain-lain, pada dasarnya merupakan hambatan yang
harus diatasi.
Menurut
Lewin belajar terjadi akibat adanya perubahan struktur kognitif. Perubahan
kognitif adalah hasil dari dua macam kekuatan yaitu struktur medan kognitif dan
motivasi internal individu. Apabila seseorang belajar, maka dia akan tambah
pengetahuannya. Artinya tahu lebih banyak dari pada sebelum ia belajar. Ini
berarti ruang hidupnya lebih terdiferensiasi, lebih banyak subregion yang
dimilikinya, yang dihubungkan dengan jalur-jalur tertentu. Dengan kata lain
orang tahu lebih banyak tentang fakta-fakta dan saling berhubungan antara
fakta-fakta itu.
Perubahan
struktur pengetahuan (struktur kognitif) dapat terjadi karena ulangan; situasi
mungkin perlu diulang-ulang sebelum strukturnya berubah. Akan tetapi yang
penting bukanlah bahwa ulangan itu terjadi, melainkan bahwa struktur kognitif
itu berubah. Dengan pengaturan masalah (problem) yang lebih baik, struktur
mungkin dapat berubah dengan ulangan yang sangat sedikit. Hal ini telah
terbukti dalam ekserimen mengenai insight. Terlalu banyak ulangan tidak
menambah belajar; sebaliknya ulangan itu mungkin menyebabkan kejenuhan
psikologis (pychological satiation) yang dapat membawa disorganisasi
(kekacauan) dan dediferensiasi (kekaburan ) dalam sistem kognitif.
Perubahan
dalam struktur kognitif ini untuk sebagian berlangsung dengan prinsif pemolaan
(patterning) dalam pengamatan, jadi disinilah lagi terbukti betapa pentingnya
pengamatan itu dalam belajar. Perubahan itu disebabkan oleh kekuatan yang telah
intrinsik ada dalam struktur kognitif. Tetapi struktur kognitif itu juga
berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan yang ada pada individu. Disinilah terjadi
belajar dengan motivasi.
2.
Hadiah dan Hukuman menurut Kurt Lewin
Bila
kaum Behavioral memandang hadiah dan hukuman sebagai The Law of Effect and The
Law of Reinforcement, maka Kurt Lewin menggambarkan situasi yang mengandung
hadiah atau hukuman sebagai situasi yang mengandung konflik. Hal ini
digambarkannya dalam topologi berikut:
a.
Situasi yang mengandung hukuman
Di
dalam situasi yang digambarkan di atas, ribadi (P) harus melakukan pekerjaan
atau tugas yang tidak menyenangkan (Tg), karenanya ada kebutuhan untuk
meninggalkan tugas yang tidak menyenangkan itu. Supaya ia tetap mengerjakan
tugas itu, ada ancaman hukuman bila ia tidak menyelesaikan tugas tersebut (Hk).
Sehingga dalam situasi seperti ini lalu timbul konflik, yaitu si pribadi harus
memilih diantara dua kemungkinan yang tidak menyenangkan tersebut. Dalam
situasi ini, malah ada kecenderungan pribadi menghindarkan diri dari kedua
kondisi yang tidak menyenangkan dirinya. Supaya pribadi tidak meninggalkan
medan itu maka harus dibuat barier (B); barier dalam kehidupan nyata adalah
kekuasaan atau pengawasan.
b.
Situasi yang mengandung hadiah
Dalam
situasi yang mengandung hadiah, pribadi tidak perlu dimasukkan dalam tembok
pengawasan seperti yang digambarkan pada topologi yang mengandung hukuman,
karena sifat menariknya hadiah akan menahan pribadi untuk tetap berada dalam
medan. Akan tetapi barier (B) tetap diperlukan untuk mencegah supaya pribadi
jangan sampai memperoleh hadiah secara langsung tanpa mengerjakan tugas yang
seharusnya dikerjakan. Pengawasan dalam situasi ini masih diperlukan karena
hadiah (Hd) berhubungan dengan aktivitas menjalankan tugas (Tg) secara
eksternal, maka selalu ada kecenderungan untuk mencari jalan lebih singkat
bahkan bila mungkin mendapatkan hadiah tanpa mengerjakan tugasnya.
3.
Masalah berhasil dan gagal
Kurt
Lewin lebih setuju penggunaan istilah sukses dan gagal dari pada istilah hadiah
dan hukuman. Sebab apabila tujuan-tujuan yang akan kita capai itu adalah
intrinsik, maka kita lebih tepat menggunakan istilah berhasil atau gagal
daripada terminologi hadiah dan hukuman. Istilah hadiah dan hukuman lebih dekat
pada pendekatan nonpsikologis sedang istilah sukses dan gagal merupakan kajian
dalam pendekatan psikologis. Secara psikologis yang penting memang adalah
bagaimana yang dialami individu dalam menghadapi suatu problem. Suatu
pengalaman sukses haruslah dimengerti sesuai dengan apa yang telah dikerjakan
atau dicapai oleh seseorang (pelajar). Misalnya seorang pelajar yang merasa
sukses karena naik kelas dengan nilai terbaik. Namun ada pula yang tetap merasa
sukses karena ia naik kelas walau tidak dengan nilai terbaik.
4.
Sukses memberi mobilisasi energi cadangan
Kurt
Lewin beranggapan bahwa dinamika kepribadian itu dikarenakan oleh adanya energi
dalam diri seseorang yang disebut energi psikis. Energi psikis inilah yang
dipergunakan untuk berbagai aktivitas seperti mengamati, mengingat, berpikir
dan sebagainya. Dalam keadaan sehari-hari, hanya sedikit saja energi psikis
yang dipergunakan dan sisanya tersimpan sebagai energy cadangan. Apabila orang
mendapat pengalaman sukses, maka akan terjadi mobilisasi energi cadangan
sehingga kemampuan individu untuk menyelesaikan problem bertambah. Oleh sebab
itu secara praktis sangat dianjurkan untuk sebanyak mungkin memberikan
kesempatan kepada para peserta didik kita supaya mereka mendapatkan pengalaman
sukses.
E.
Evaluasi konsep Medan kognitif
Kritik
terhadap teori Lewin dapat dikelompokkan dalam 5 topik yaitu :
1.
Lewin tidak mengelaborasi pengaruh lingkungan luar atau lingkungan obyektif,
memang dikemukakan sifat bondaris antara lingkungan psikologis dengan
lingkungan obyektif yang permenable, namun hal ini tidak diikuti oleh
penjelasan dinamika bagaimana lingkungan luar itu mempengaruhi region-region
atau menjadi region baru.
2.
Lewin kurang memperhatikan sejarah individu pada masa lalu sebagai penentu
tingkah laku. Ini merupakan resiko teori yang mementingkan masa kini dan masa
yang akan datang. Teori ini juga terlalu bersibuk diri dengan aspek-aspek yang
mendalam dari kepribadian sehingga mengabaikan tingkah laku motoris yang nampak
dari luar.
3.
Lewin menyalahgunakan konsep ilmu alam dan konsep matematika. Memang tidak
mudah memahami jiwa dengan memakai rumus-rumus matematika. Bahkan Lewin berani
mengambil resiko dengan memakai istilah-istilah dalam matematika dan fisika
untuk dipakai dalam psikologi dengan makna yang sangat berbeda dengan makna
aslinya.
4.
Penggunaan konsep-konsep topologi telah menyimpang dari arti sebenarnya.
Penggambaran topologis dan vaktorial dari Lewin tidak mengungkapkan sesuatu
yang baru tentang tingkah laku.
5.
Banyak konsep dan konstruk yang tidak didefinisikan secara jelas sehingga
memberikan arti yang kabur.
F.
Kesimpulan
Kurt
Lewin (1890-1947) di sebut-sebut sebagai Bapak Psikologi Sosial karena buah
karya dan pemikiran-pemikirannya yang memiliki dampak yang mendalam terhadap
psikologi sosial terutama dalam masalah dinamika kelompok dan penelitian
tindakan. Namun demikian, buah karya dan pemikirannya tersebut juga sangat
relevan bagi para pendidik dalam dunia pendidikan. Salah satu buah pemikirannya
yang masih dapat dijadikan referensi guna merujuk perkembangan metode
pembelajaran yang makin beragam adalah Teori Medan kognitif yang lebih dikenal
dengan Teori Medan.
Teori
Medan dibangun berdasarkan prinsip-prinsip yang terdapat dalam psikologi
Gestalt. Konstribusi penting dari psikologi ini adalah kritiknya terhadap
pendekatan molekular yang tidak menyeluruh dari behaviorisme S-R. Ahli-ahli
gestalt juga beranggapan bahwa benda-benda hidup berbeda dengan mesin, selalu
hidup dan saling mempengaruhi dengan lingkungannya. Diantara prinsip penting
dalam belajar ala psikologi Gestal adalah adanya insight atau pemahaman dan
pencerahan. Kemudian Lewin menambah unsur baru dari teori belajar gestalt yang
disebut sebagai Teori Medan Kognitif. Menurut Lewin, individu berada dalam
suatu medan kekuatan psikologis. Individu bereaksi dengan life space (Ruang
Hidup) yang mencakup perwujudan lingkungan di mana siswa bereaksi dengan
orang-orang yang ditemui, obyek material yang dihadapi serta fungsi-fungsi
kejiwaan yang dimiliki. Selain faktor-faktor yang sifatnya personal, perilaku
individu juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersifat sosial lingkungan.
Lewin berpendapat bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh dua faktor yaitu
faktor yang bersifat pribadi dan faktor yang bersifat sosial
Inti
dari teori ini adalah adanya Life space (LS) yang merupakan konstelasi dari
faktor-faktor yang menentukan baik individual maupun lingkungan. Perilaku
seseorang (B) dapat digambarkan sebagai fungsi dari Life space (LS) dimana LS
terdiri dari faktor personal (P) dan lingkungan (E). Jadi dalam bentuk
persamaan maka B= f(P,E). Life space terbentuk dari motif-motif, sikap dan hal
lain yang merupakan keunikan dari kepribadian seseorang ditambah dengan
tekanan-tekanan sosial seperti norma, hukum dan sebagainya. Life space ini
terbagi atas area atau daerah-daerah yang berbeda dimana lifespace ini
merupakan semua kemungkinan yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang.
Perilaku dikatakan sebagai pergerakan dalam life space yang merupakan resultan
dari kekuatan-kekuatan. Kombinasi kekuatan positif dan negatif akan menentukan
perilaku dari seseorang.
Belajar
merupakan fenomena kognisi yang penekanannya lebih tertuju pada proses mental
dan bukan melulu pengalaman empiris. Disinilah letak perbedaan mendasar antara
kaum kognitivisme dengan behavioralisme. Menurut teori ini belajar berusaha
mengatasi hambatan-hambatan untuk mencapai tujuan. Kurikulum sekolah dengan
segala macam tuntutannya, berupa kegiatan belajar di dalam kelas, laboratorium,
di workshop, di luar sekolah, penyelesaian tugas-tugas, ujian, ulangan dan
lain-lain, pada dasarnya merupakan hambatan yang harus diatasi. Tantangan yang
dihadapi dalam bahan belajar membuat siswa bergairah untuk mengatasinya. Bahan
belajar yang baru, yang banyak mengandung masalah yang perlu dipecahkan membuat
siswa tertantang untuk mempelajarinya. Pelajaran yang memberi kesempatan pada
siswa untuk menemukan konsep-konsep, prnsip-prinsip, dan generalisasi akan
menyebabkan siswa berusaha mencari dan menemukan konsep-konsep,
prinsip-prinsip, dan generalisasi tersebut. Bahan belajar yang telah diolah
secara tuntas oleh guru sehingga tinggal menelan saja kurang menarik bagi
siswa. Penggunaan metode eksperimen, inkuiri, diskoveri juga memberikan
tantangan bagi siswa untuk belajar secara lebih giat dan sungguh-sungguh.
G.
Implikasi
1.
Bila teori-teori Behavioral menurunkan strategi belajar yang inovatif, dengan
pengkondisian dan rekayasa lingkungan, maka kaum gestaltian dan kognitivisme
mendekatkan kita pada strategi belajar inquiri (penemuan).
2.
Belajar adalah proses mental karena itu menurut gagasan ini, belajar adalah
memuaskan secara personal dan tidak perlu didorong-dorong oleh penguatan
eksternal. Kelas yang berorientasi gestalt akan dicirikan oleh hubungan memberi
dan menerima antara murid dengan guru.
3.
Bila dalam teori Thorndike belajar dan memahami terjadi secara bertahap atau
incremental, dalam teori ini belajar harus melalui insight.
H.
Saran
1.
Karena perilaku belajar dalam pandangan ini harus dilihat secara menyeluruh
bagian interaksi diri dengan lingkungannya, maka hendaknya guru memilih
tema-tema menarik, mengundang pertanyaan, yang sesuai dengan konteks kekinian
siswa seperti lewat metode pembelajaran kontekstual.
2.
Dalam kelas yang berorientasi Gestalt, atensi (pengamatan) merupakan hal pokok
untuk belajar, karena itu langkah pertama guru dalam pembelajaran hendaknya
mencari upaya agar perhatian siswa tertuju padanya antara lain dengan cara:
menampilkan topik-topik menarik, guru sering-sering mengajukan pertanyaan
penyela ditengah-tengah pembahasan, menyegerakan waktu istirahat, memanej
tempat duduk siswa yang mengalami kesulitan dalam atensi belajar dengan memberi
tempat duduk mereka dekat dari guru.
3.
Hendaknya para guru berupaya mencari jalan tengah diantara konsep belajar
behavioral dengan kognitivisme, dimana prinsip-prinsip inovatif dan rekayasa
lingkungan belajar, reward dan reinforcemen tetap dapat dikombinasikan dengan
prinsip dan Teori Medan dalam gestalt.
No comments:
Post a Comment