Sunday, November 24, 2013

Tokoh Publistik

1. Adinegoro

Adinegoro mempunyai nama asli Djamaluddin gelar Datuk Maradjo Sutan. Ia lahir di Talawi, Salahwunto, Sumatera Barat, 14 Agustus 1904. Ia merupakan adik sastrawan Muhammas Yamin. Mereka saudara satu bapak namun lain ibu. Adinegoro merupakan nama samaran dari nama aslinya. Ia menggunakan nama samaran karena ketika bersekolah di STOVIA ia tidak diperbolehkan untuk menulis. Padahal keinginnannya untuk menulis sangat tinggi. Maka akhirnya ia menggunakan nama Adinegoro sebagai nama samara untuk menulis. Sehingga apabila tulisannya dipublikasi tidak ada yang mengetahui bahwa Adinegoro adalah Djamaluddin gelar Datuk Maradjo Sutan. Adinegoro merupakan salah satu pendiri Perguruan Tinggi Jurnalistik di Jakarta dan Fakultas Publisistik dan Jurnalistik Universitas Padjajaran. Adinegoro sempat mengambil pendidikan di Berlin, Jerman. Disana ia belajar banyak tentang dunia jurnalistik.

Adinegoro memulai kariernya sebagai wartawan di majalah Caya Hindia, sebagai pembantu tetap. Setiap minggunya ia menulis artikel tentang masalah luar negeri. Setelah kembali dari pendidikannya di Berlin, ia memimpin majalah Panji Pustaka pada tahun 1931. Namun ia hanya bertahan selama enam bulan di majalah Panji Pustaka. Setelah itu ia memimpin surat kabar Pewarta Deli di Medan. Setealh Pewarta Deli ia memimpin Mimbar Indonesia bersama Prof. Dr. Supomo. Terakhir ia bekerja di Kantor Berita Nasional. 
    Banyak karya-karya yang dihasilkan oleh Adinegoro. Ia pernah menerbitkan dua buah novel pada tahun 1928 yang akhirnya membuat Adinegoro bisa sejajar dengan nama-nama novelis Indonesia terkenal lainnya. Dalam romannya tersebut Adinegoro berani untuk menentang adat kuno yang  berlaku dalam perkawinan. Ia bukan hanya menentang adat kuno tersbut namun juga dengan berani memenangkan pihak kaum muda yang menantang adat kuno itu yang dijalankan oleh kaum tua. Adinegoro juga pernah membuat esay tentang polemic kebudayaan yang terjadi pada tahun 1935. Bersama koleganya, Mattheus van Randwijk, Adinegoro membuat atlas berbahasa Indonesia pertama kali. Pada tahun 1974 Adinegoro dianugerahi gelar Perintis Press Indonesia dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagai badan tertinggi insan press nasional, menyediakan tanda penghargaan tertinggi bagi karya jurnalistik terbaik setiap tahunnya, yaitu Hadiah Adinegoro.

        2. Deddy Mulyana


Prof. Dr. Deddy Mulyana, M.A. lahir di Bandung, 28 Januari 1958. Deddy Mulyana merupakan Dekan dari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran. Ia dilantik kembali menjadi Dekan pada bulan September lalu. Ia juga merupakan Guru Besar Fakultas Ilmu Komunikasi dan Program Pascasarjana Universitas Padjajaran Bandung. Sejak tahun 1999, Deddy Mulyana telah menjadi asesor Badan Akreditasi Nasional (BAN) Departemen Pendidikan Nasional untuk menilai prograsm studi Ilmu Komunikasi di berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia. 
Deddy Mulayan merupakan lulusan dari Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad tahun 19981. Kemudian memperoleh gelar M.A dari Department of Communication Studies, Northern Illinois University, Amerika Serikat (1986) dan gelar Ph.D. dari Department of Anthropology and Sociology, Monash University, Australia (1996). Pada tahun 2004 ia terpilih sebagai Dosen Berprestasi Unpad.

Deddy Mulyana sudah menerbitkan lebih dari 30 buku, ratusan artikel populer dan ilmiah, lebih dari 80 cerpen, dua cerita bersambung untuk anak-anak dan sekitar 50 puisi yang tersebar dalam beberapa surat kabar, majalah dan jurnal berbahasa Indonesia dan Inggris.

3. Dr. Ishadi Soetopo Kartosapoetro


Dr. Ishadi S.K, M.Sc. dikenal sebagai penemu dan komisioner Trans TV. Beliau mulai bekerja di Trans TV sejak tahun 2001 yang kemudian diangkat menjadi komisaris Trans TV dan juga Trans7 pada tahun 2008.
Dr. Ishadi S.K lahir di Majene, 30 April 1943. Pada tahun 1967 ia lulus menjadi sarjana FISIP Universitas Indonesia. Tahun 1968 beliau memulai karirnya sebagai reporter di TVRI kemudian diangkat menjadi Kepala Seksi Pengawasan dan Pengendalian Berita sejak tahun 1969 hingga 1974. Dr. Ishadi S.K juga pernah menjadi anggota pengurus PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) cabang Jakarta. Namun kepengurusannya beliau lepas karena beliau memutuskan untuk meneruskan pendidikan masternya. Ia meneruskan pendidikan masternya di Ohio University, Amerika Serikat pada tahun 1980 dan mendapatkan gelar masternya sebagai Master of Science. Dr. Ishadi pernah menjadi Presiden Direktur TVRI pada tahun 1992 yang kemudian diangkat menjadi direktur operasional TPI pada tahun 1996 hingga 1998. Pada tahun 2002 Universitas Indonesia memberikan gelar doctor kepada beliau.
Dr. Ishadi S.K aktif mengikuti seminar di dalam maupun luar negeri seperti Filipina, USA, India, Australia, Malaysia, belanda, German Barat dan beberapa negara lainnya baik itu sebagai peserta maupun pembicara. 

No comments:

Post a Comment