Frankfurt school merupakan salah satu
mahzab filsafat komunikasi yang berdiri
pada tahun 1931 oleh sekelompok pemikir dari kelas menengah Yahudi (saat itu
kaum mereka menerima penindasan Nazi dan melarikan diri ke amerika Serikat
sebelum mereka kembali lagi ke Frankfurt Jerman dan tergabung dalam Frankfurt Institute of Social Research di Universitas Frankurt, Jerman). Mahzab ini
beraliran Neo Marxisme (generasi pelanjut dari Marxisme, namun memahami bahwa
konflik yang terjadi bukan hanya karena ekonomi, tetapi juga karena dominasi
cultural). Max Horkheimer, dan Theodor
Adorno sebagai tokoh dari mahzab ini memiliki pemikiran bahwa adanya konflik
bukan hanya karena bidang ekonomi melainkan juga adanya dominasi dari segi
budaya. Dalam buku Horkheimer dan Adorno yang berjudul Dialectic of Enlightenment
mengkritik terhadap modernitas yang dipandang sebagai sejarah dominasi /
penguasaan, dan penguasaan itu sendiri didorong oleh psikologi manusia (kehendak
untuk berkuasa).
Penganut mahzab ini berpikir bahwa
ideology adalah pengacau. Fenomena budaya populer (budaya industry saat itu)
yang menyebar melalui media bagi mahzab ini dipandang secara kritis bahwa
ideology budaya populer ini tidak mewakili ideology pengguna media tersebut,
karena pengguna media bukan hanya dari kalangan atas yang membawa budaya itu
melainkan juga budaya kelompok bawah atau kelompok pekerja. Budaya populer ini
dicurigai sebagai ideology kalangan atas sehingga menjauhkan kalangan bawah
dari budaya asli mereka. Hal ini membuat
budaya bawah merasa “pantas” sebagai pihak yang tertindas namun tidak merasa
bahwa mereka sedang ditindas (contoh : saya buruh; saya adalah bawahan sehingga
harus patuh; pantas saja mereka menyuruh saya, mereka kan atasan saya (adanya
dominasi pada psikologi manusia)). Mereka memandang seharusnya ideology menjadi
proses dialektika di mana proses kritis harus tetap berlangsung dengan
senantiasa mengkonstruksi fondasi sosial masyarakat untuk tetap selalu kritis
karena saat kritisisme mati maka pengetahuan tak kan pernah berkembang.
Jürgen
Habermas sebagai tokoh terakhir dari mahzab ini menyambung pemikiran dari
Adorno dan Horkheimer dengan pendapatnya tentang “ideal speech situation.”
Ideal speech situation atau situasi ideal untuk berkomunikasi menurutnya
terjadi saat orang bebas mengemukakan pendapat tanpa terintimidasi. Kondisi ini
juga mendukung masyarakat untuk membicarakan konflik public, bukan
membungkamnya yang sering dilakukan semasa Nazi. Saat itu juga ada kafe-kafe
yang disebut sebagai Public Sphere yaitu kafe yang digunakan sebagai tempat
membicarakan isu public, hal ini memberikan kontribusi pada revolusi modern
karena dengan adanya perbincangan mengenai isu public maka opini public juga
terpengaruhi.
No comments:
Post a Comment