Salah
satu perspektif yang memotret perkembangan masyarakat dan budaya modern secara
kritis adalah kajian komunikasi yang bersumber dari ajaran Karl Marx
(1818-1883), yang kemudian disebut Marxisme. Dalam perkembangannya, Marxisme
diadopsi oleh beberapa kelompok intelektual untuk menganalis masyararakat
kapitalis modern. Maka muncullah beberapa perspektif kritis dalam kajian
komunikasi, diantaranya; teori ekonomi politik media, mazhab Frankfurt, hegemoni,
dan cultural studies.
Perspektif
tersebut ada yang berada dalam tradisi marxis-materialis yang menekankan faktor
ekonomi dan ada juga yang berusaha menjelaskan selubung ideologi
(superstruktur) dalam komunikasi. Marxisme sebenarnya mengandung interpretasi
yang sangat luas. Hal ini disebabkan karena Marxisme selain merujuk langsung
kepada pemikiran Karl Marx sendiri, Marxisme pada perkembangannya telah menjadi
payung sekaligus identitas bagi berbagai macam dinamika pemikiran kritis yang
berada di bawah pengaruh Karl Marx.
Menurut
Franz Magnis Suseso, Marxisme adalah ideologi atau teori tentang ekonomi dan
masyarakat yang memuat apa yang dalam berbagai aliran yang bernaung di bawahnya
dianggap sebagai ajaran resmi dan definitif Marx. Maka Marxisme lebih sempit
dari ajaran Marx. Dalam catatan Everet M. Rogers, sebagaimana dikutip Stephen
W. Littlejohn dalam Theories of Human Communication, pada abad ke-20 ajaran
Karl Marx telah mempengaruhi hampir semua cabang ilmu sosial, meliputi
sosiologi, politik, ekonomi, sejarah, filsafat yang termasuk di dalam ilmu
komunikasi. Pengaruh Marx dalam kajian komunikasi terutama bersumber dari
analisisnya mengenai industri kapitalis dimana terjadi pertentangan antara kaum
proletar dan buruh. (Littlejohn, 2001:210) Secara teoritits salah satu ajaran
Karl Marx menjelaskan relasi antara basis dan superstruktur
(base-superstructure) dalam masyarakat. Basis material dari kegiatan manusia
menurut Karl Marx yaitu ekonomi atau kerja. Sementara superstruktur
kesadarannya berupa ideologi, ilmu, filsafat, hukum, filsafat, politik, dan
seni. Di antara dua entitas tersebut yang dominan dan menentukan adalah
basisnya yang menentukan superstruktur. Dalam bahasa lain, basis sebagai sebuah
realitas menentukan kesadaran manusia. Dengan demikian perbedaan cara produksi
niscaya menghasilkan perbedaan kesadaran. (Budi Hardiman, 2004: 241).
Karl
Marx melihat dalam masyarakat kapitalis dimana hak milik atas alat-alat
produksi dikuasai oleh beberapa gelintir orang saja yaitu kaum borjuis atas
kaum proletar. Dalam kondisi inilah terjadi penghisapan manusia atas manusia
lainnya. Individu-individu yang tertindas itu akhirnya merasakan keterasingan
karena tidak memiliki hak milik atas barang. Bahkan menurut Marx individu bukan
saja terasing dari lingkungannya tapi juga dari barang yang diciptakannya.
(McLelland, 1977: 78). Mengikuti alur pemikiran di atas, maka jika diandaikan
dalam komunikasi dapat digambarkan bahwa media massa sebagai industri informasi
yang hanya dikuasai oleh segelintir orang (pengusaha media massa) yang memiliki
kepentingan ideologis, mengeksploitasi para pekerja media untuk menghasilkan
informasi sesuai dengan ideologi pemiliknya. Maka para pekerja media kemudian
akan terasing karena ia tidak memiliki atau hanya mendapatkan sedikit
keuntungan dari industri tersebut. Selanjutnya masyarakat atau komunikan mau
tidak mau mengkonsumsi media massa dan mereka hanya menjadi pembaca, pendengar
atau penonton yang pasif sehingga ideologi yang dibawa oleh media merasuki
masyarakat, dan masyarakat bertindak sesuai dengan apa yang digambarkan atau
dicontohkan oleh media massa. Pada titik ini media sebagai realitas menentukan
kesadaran masyarakat. Dan kesadaran yang dihasilkan oleh media massa adalah
kesadaran palsu (false conciousness). Terkait dengan kajian komunikasi,
khususnya kajian media, secara historis, pada zamannya, sebenarnya Marx belum
menyaksikan media massa yang pengaruh dan dominasinya begitu kuat seperti yang
terjadi pada masyarakat modern. Meski demikian bukanlah mustahil jika melalui
teorinya dapat dilakukan penelitian secara kritis terhadap media massa. Dalam
perspektif Marxian media massa dipandang sebagai alat produksi yang disesuaikan
dengan tipe umum industri kapitalis beserta faktor produksi dan hubungan
produksinya. (McQuail, 1987: 63). Media sebagaimana telah dijelaskan di atas,
cenderung dimonopoli oleh kelas kapitalis untuk memenuhi kepentingan dan
ideologi mereka. Mereka melakukan eksploitasi pekerja budaya dan konsumen
secara material demi memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Untuk
mempertahankan kedudukannya, mereka melarang adanya ideologi lain yang akan
mengganggu kepentingannya. Contoh yang mudah adalah keluar/dikeluarkannya
Sandrina Malakiano dari Metro TV karena mengenakan jilbab. Mobilisasi kesadaran
semacam itu dihindari oleh kaum kapitalis, karena itu mereka menerapkan
kebijakan yang ketat dan terorganisir secara rapi. Dalam kerangka pikiran ini,
media massa sebagai alat dari kelas yang dominan untuk mempertahankan status
quo yang dipegangnya dan sebagai sarana kelas pemilik modal berusaha
melipatgandakan modalnya. Media yang cenderung menyebarkan ideologi dari kelas
yang berkuasa akan menekan kelas-kelas tertentu. Menurutnya yang lebih dominan
adalah ideologi itu sendiri, bentuk ekspresi, cara penerapan dan mekanisme
dijalankannya untuk mempertahankan dan mengembangkan diri melalui kepatuhan
para korban dan membentuk alam pikiran mereka. (McQuail, 1987: 63).Tradisi
pemikiran itulah yang akhirnya diambil oleh Struart Hall dan kawan-kawannya
dalam kajian kultural studies. Mereka menolak formulasi basis dan superstruktur
karena ada dialektika antara realitas sosial dengan kesadaran sosial.
(DanielChandler, http://www.aber.ac.uk,
1994)
No comments:
Post a Comment